Tuhan, Izinkan Aku Berdosa, Film yang Menggambarkan Masalah Kekerasan Seksual di Sekitar Kita

Tuhan Izinkan Aku Berdosa

Hanung Bramantyo memberikan sorotan terhadap masalah yang sangat serius, yaitu kasus kekerasan seksual yang masih sangat sering terjadi di Indonesia melalui film Tuhan Izinkan Aku Berdosa. Ia berharap dapat membuka mata masyarakat terhadap realitas yang sering terlupakan dan menekankan bahwa perlu ada upaya bersama untuk memberantas kejahatan ini serta memberikan dukungan kepada para korban. Film ini menjadi wadah untuk membuka percakapan penting tentang isu-isu sosial yang relevan dan mendesak dalam masyarakat Indonesia.

Ketika memutuskan bagian novel diadaptasi ke dalam film, ia selalu berdiskusi dan berkonsultasi dengan penulis skenario filmnya, Ifan Adriansyah Ismail. Mereka bekerja sama untuk mengevaluasi elemen-elemen dalam novel dan memilih yang paling relevan dan berdampak dalam konteks sinematik.

Salah satu keputusan yang diambil oleh Hanung adalah untuk meng-highlight bagian akhir novel, dan bahkan membuat perubahan signifikan terhadapnya. Hal ini didasarkan pada keinginannya untuk memberikan payoff yang kuat terhadap gugatan karakter terhadap Tuhan. Hanung ingin menyampaikan pesan bahwa meskipun karakter utama awalnya dipenuhi oleh amarah dan kebingungan terhadap Tuhan, ada potensi untuk perubahan dan perdamaian di mana Hanung juga menjalani perjalanan yang mendalam dan eksploratif terhadap proses karakter dalam mencari kedamaian dengan Tuhan.

Hanung Bramantyo menerapkan pendekatan kolaboratif yang kuat dengan para pemeran untuk mendalami peran-peran mereka dalam film. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menggali nuansa dan emosi yang kompleks yang dibutuhkan dalam film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Caranya adalah dengan pertama-tama memantik rasa amarah kepada para pemeran dengan meminta mereka membayangkan dan merasakan perspektif karakter-karakter mereka saat berada di posisi atau adegan yang akan dimainkan. Hanung tidak memberikan arahan yang kaku, melainkan memberikan stimulasi dan contoh-contoh situasi yang memungkinkan para pemeran untuk menggali emosi dan reaksi karakter mereka dengan lebih dalam.

Namun, Hanung Bramantyo juga mengakui bahwa dalam kasus film ini, ia merasa sangat terbebani dan kesulitan untuk melihat isu kekerasan seksual dari perspektif perempuan, mengingat bahwa ia dan seluruh timnya adalah laki-laki. Namun, dengan kolaborasi yang kuat antara timnya dan pemahaman mendalam yang dihasilkan dari banyak diskusi dan penelitian, ia bersama para pemeran berhasil menciptakan representasi yang kuat terhadap perjuangan karakter perempuan dalam film ini.

Diawali dengan produksi pada tahun 2020 di tengah pandemi yang menantang, film ini mengeksplorasi isu-isu yang sangat relevan dalam masyarakat dan menawarkan pesan yang sangat mendalam. Jakarta Film Week 2023 telah menjadi platform sempurna bagi banyak pihak untuk melihat film ini pertama kali dengan adanya kesempatan langka bagi para penonton untuk berpartisipasi dalam percakapan penting mengenai film ini bersama dengan direktor dan orang-orang yang berada di balik proses produksinya.

Cut Fatimatuzzahra | Nanda Hadiyanti

Artikel Terkait
Review Film Past Lives: Sebuah Ikatan yang Tetap Ada Meski Hidup Terpisah

Article

Review Film Past Lives: Sebuah Ikatan yang Tetap Ada Meski Hidup Terpisah
Read Now
Women from Rote Island's Remarkable Debut As A Powerful Voice for Change

Article

Women from Rote Island's Remarkable Debut As A Powerful Voice for Change
Read Now
Vania On Lima Street, dari Ide Sederhana Hingga Trauma 1998

Article

Vania On Lima Street, dari Ide Sederhana Hingga Trauma 1998
Read Now