Hari ketiga Jakarta Film Week 2023 diramaikan oleh program Directing Masterclass. Program ini menjadi ajang diskusi bagi para sineas Indonesia untuk mengenal lebih dalam mengenai pengarahan film bersama dengan Takashi Shimizu dan Tai Ohuchi. Acara ini juga mengundang beberapa sutradara Indonesia salah satunya adalah Fajar Nugros dan Paul Agusta sebagai partisipan yang hadir.
Takashi Shimizu merupakan seorang sutradara dan pembuat film Jepang yang dikenal terutama untuk karyanya dalam genre horror. Ia terkenal karena menjadi pengarah film horor Jepang “Ju-on” yang dikenal juga sebagai “The Grudge” pada tahun 2002. Tidak lama ini ia baru saja merilis film dengan judul ‘Sana’ atau dalam bahasa Jepang berjudul ‘Minna no Uta’ yang tayang pertama kali di Indonesia pada pagelaran Jakarta Film Week 2023.
Sedangkan, Tai Ohuchi adalah sinematografer di film ‘Sana’, ia juga telah berkontribusi dalam berbagai genre mulai dari film, drama TV, iklan TV, hingga video musik. Karyanya di antara lain adalah The Hikita’s Are Expecting (2019), One Day You Will Reach The Sea (2022), dan In Her Room and Side By Side (2023).
Selama acara berlangsung, Shimizu membagikan pengalamannya dalam pembuatan film ‘Sana’ secara keseluruhan mulai dari tantangan yang dihadapi maupun teknis. Partisipan sangat antusias untuk memberikan pertanyaan kepada Shimizu. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah alasan pemilihan nama ‘Sana’ jika diartikan adalah ‘Everybody’s Songs’ yang dinilai sangat unik untuk sebuah film horor.
Shimizu menanggapi bahwa tujuan pemilihan nama tersebut agar menarik perhatian khalayak agar berkesan seperti film bertema keluarga. “Saya sengaja memberikan nama itu agar seolah-olah film ini bertema keluarga, jika dari awal kita sudah memberikan judul yang menyeramkan dan tidak sesuai ekspektasi penonton justru akan memberikan efek yang tidak bagus. Dan mungkin alasan lainnya agar mudah diingat oleh para penonton.” ujar Shimizu.
Film yang telah tayang perdana di Jepang pada 11 Agustus 2023 ini, telah menjalani proses kreatif yang cukup panjang. Shimizu mengungkapkan bahwa dibalik pengembangan proses film yang baik, perlu adanya kepercayaan kepada sesama crew film. “Dalam proses pembuatan film, tidak hanya sutradara yang mengambil alih keseluruhan prosesnya tetapi pentingnya kerjasama dan kepercayaan antar crew. Sehingga dalam prosesnya melibatkan seluruh ide-ide yang dimiliki oleh crew agar cerita yang ingin disampaikan oleh penonton dapat terus berkembang.” ungkap Shimizu
Shimizu turut menambahkan bahwa keberhasilan sebuah film horor yaitu dengan mengambil sudut pandang penonton untuk mengetahui apa yang penonton akan rasakan saat menonton film. Ia juga memberikan tips kepada partisipan untuk membuat sebuah film horror yang tidak hanya mengandalkan jumpscare, yaitu dengan memutarbalikkan ekspektasi sehingga dapat “mengkhianati” tebakan penonton.
Selain itu, sesi diskusi ini memberikan pengetahuan lain mengenai tren slow-paced di industri perfilman Jepang. Nyatanya, hal ini bukanlah suatu kesengajaan melainkan keadaan pendanaan yang mengharuskan proses perfilman Jepang direalisasikan secara minimalis “Di Jepang, film yang mendapatkan pendanaan dari pemerintah hanya film animasi, sedangkan untuk film live action tidak didukung oleh pemerintah Jepang. Sehingga kita harus membuat film low budget yang original dan tindak melepaskan nilai suatu film.” tutupnya.
Secara keseluruhan sesi diskusi ini memberikan sisi pandang lain dalam industri perfilman Jepang, sehingga partisipan yang hadir dapat saling sehingga membuka wawasan seputar industri perfilman bersama dengan orang yang ahli dibidangnya.
Asia Khairunnisa Luthan | Nanda Hadiyanti