Sebuah siaran darurat akan terdengar di Jakarta, bukan lewat radio atau televisi, melainkan dari Teater Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki. Pada Sabtu, 25 Oktober 2025, pukul 16.00–18.00 WIB, Emergency Broadcast akan memutar enam film dari Indonesia, Iran, Myanmar, Kanada, dan Austria yang akan menyalakan kembali percakapan tentang kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan.
Program baru dari Jakarta Film Week 2025 ini menghadirkan ruang eksperimental yang menjadikan film bukan sekadar tontonan, tetapi panggilan untuk berbicara, tentang kehidupan yang telah terjadi, sedang berlangsung, dan terus melekat dalam ingatan, budaya, serta ruang hidup kita.
Emergency Broadcast menjadi bagian dari arah baru Jakarta Film Week, festival film internasional tahunan yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta. Memasuki tahun kelimanya, festival ini memperluas maknanya: dari ruang menonton menjadi ruang belajar, berdiskusi, dan menyelami hal-hal yang kerap tersembunyi di balik keseharian.
Setiap film di program ini berangkat dari latar sosial dan politik yang kompleks. Dari Indonesia, ada tiga film yang menelusuri hubungan manusia dengan sejarah dan tanah: Tutaha Subang (2024) karya Wulan Putri, Geger Perikoloso (2024) karya Indigo Gabriel Zulkarnain, dan Memories from Fire’s Chaos (2025) karya Eko Fitri Yulyanto. Ketiganya berbicara tentang luka-luka yang belum sepenuhnya pulih, dari ingatan kerusuhan 1998 hingga perjuangan menjaga tanah adat, beserta kesakralan alam dan tradisinya.
Di Iran dan Myanmar, ketenangan hidup sehari-hari bisa runtuh seketika oleh konflik dan represi. Film-film dari dua negara ini, The Steak (2023) karya Kiarash Dadgar dan Metamorphosis (2025) karya Lin Htet Aung, menyoroti bagaimana ulang tahun seorang anak hancur di tengah perang, atau bagaimana siaran televisi berubah menjadi alat propaganda negara.
Sementara itu, film Caught in 4K (2025) karya Adriana Mrnjavac dari Austria memperlihatkan bahaya yang lebih sunyi: kekerasan di dunia digital. Isu cybergrooming digambarkan sebagai ancaman yang membuat anak-anak kehilangan masa kecil mereka dan menjadi korban kekerasan yang bermula di ruang virtual lalu menjalar ke dunia nyata.
“Emergency Broadcast bukan sekadar rangkaian film tentang tragedi, tapi tentang bagaimana manusia merespons kekerasan dan kehilangan, dengan bertahan, mengingat, dan menyuarakan kembali,” ujar Novi Hanabi, Program Manager Jakarta Film Week 2025.
Sementara itu, Raslene, Programmer Jakarta Film Week 2025, menegaskan bahwa kurasi ini lahir dari kebutuhan untuk melihat keterhubungan antar realitas. “Kami ingin menayangkan film yang mampu memicu resonansi lintas batas, karena apa yang terjadi di satu tempat sering kali menggambarkan persoalan yang sama di tempat lain, hanya dalam bentuk yang berbeda.”
Siaran ini tidak berhenti di gelapnya ruang pemutaran. Usai keenam film diputar, penonton akan diajak berdialog bersama penulis Dea Anugrah, sutradara Wulan Putri dan Indigo Gabriel, serta Ronna Nirmala, Redaktur Pelaksana Project Multatuli. Diskusi ini membuka ruang bagi pembuat film dan jurnalis untuk berbagi cara mereka mendekati isu sensitif secara etis, menyampaikan kenyataan yang getir tanpa kehilangan empati, serta menjembatani pengalaman personal dan kesadaran kolektif.
Jakarta Film Week tahun ini memperkenalkan wajah baru: festival yang tak hanya berpijak pada layar bioskop, tapi juga berdenyut di ruang publik, menjadikan film sebagai pemicu percakapan tentang keseharian, politik, dan kemanusiaan. Dari rumah yang dijarah hingga ruang digital tempat anak-anak kehilangan masa kecilnya, Emergency Broadcast memperlihatkan bahwa pengalaman manusia di berbagai belahan dunia saling berhubungan dan bergema satu sama lain.
Dua film lain di program utama turut menguatkan semangat yang sama. The Life That Remains (2024) karya Dorra Zarrouk menyoroti kehidupan pasca-konflik dan usaha manusia menata ulang makna kehilangan. Sementara The Voice of Hind Rajab (2024) karya Kaouther Ben Hania merekam kesaksian seorang anak di tengah genosida, menjadi simbol kepedihan sekaligus keteguhan hidup di bawah kekerasan. Keduanya memperlihatkan bagaimana ketidakadilan di berbagai tempat berakar pada persoalan kemanusiaan yang serupa.
Jakarta Film Week 2025 akan berlangsung pada 22–26 Oktober 2025 di berbagai titik: CGV Grand Indonesia, CGV FX Sudirman, Taman Ismail Marzuki, Hotel Mercure Cikini, Galeri Indonesia Kaya, serta daring melalui platform VIDIO. Selain Emergency Broadcast, festival ini juga menampilkan berbagai film internasional dan program JFWNET – Industry Program yang mempertemukan pelaku film lewat workshop, lab, masterclass, talks, hingga pitching forum.
Tiket pemutaran dapat dibeli mulai 13 Oktober 2025 melalui TIX ID atau langsung di venue. Informasi lengkap tersedia di media sosial resmi @jakartafilmweek.
Arga Arifwangsa | Asia Khairunnisa Luthan